RINGKASAN MATERI PAI FIQIH KELAS VII MTs

RINGKASAN

Cakupan materi fiqih kelas VII meliputi : Alat-alat bersuci, bersuci dari najis dan hadats, shalat fardhu lima waktu, shalat jama’ah, berdzikir dan berdoa setelah shalat, shalat jum’at, shalat fardhu jama’ dan qasar, shalat fardhu dalam kondisi tertentu, dan shalat sunnah muakkad dan ghairu muakkad.

BAB I ALAT-ALAT BERSUCI


Sumber: https://dosenmuslim.com/fiqih/alat-alat-untuk-bersuci/

Bersuci secara bahasa memiki arti bersih dari segala kotoran. Menurut istilah fikih, tharah adalah bersih dari najis dan hadats. Di tinjau dari kedudukannya dan hukum penggunaanya, air dibagi menjadi tiga kategori,yaitu:

a. Air suci dan mensucikan

b. Air yang suci namun tidak mensucikan

c. Air yang terkena najis atau mutanajjis.

Sebagai pengganti air, batu dapat digunakan sebagai alat bersuci dengan syarat-syarat berikut :

 a. Menggunakan tiga buah batu

b. Batu yang digunakan dapat membersihkan

c. Najis belum mengering.

d. Najis belum berpindah

e. Najis tidak bercampur dengan benda lain.

f. Najis tidak meluber

g. Batu dalam keadaan tidak basah

h. Batu dalam keadaan suci.

  Diperbolehkan menggunakan benda padat selain batu dengan syarat memiliki kriteria:

a. Suci

b. Padat dan kering.

c. Mampu menyerap, menghilangkan, dan membersihkan.

d. Bukan benda yang dihormati dan sangat dibutuhkan.

BAB II BERSUCI DARI NAJIS DAN HADATS

Najis merupakan segala jenis kotoran yang menjijikkan dan harus disucikan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam fikih.

Najis dibagi menjadi tiga kategori,yaitu:

a. Najis ringan (mukhaffafah)

b. Najis yang berada di tengah-tengah (mutawassithah).

c. Najis yang berat (mughaladhah).

Dari ketiga kategori tersebut dibagi lagi menjadi dua berdasarkan sifat-sifatnya, yaitu:

a. Najis ‘Ainiyah

b. Najis Hukmiyah

Penyucian najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah berbeda tata caranya, yaitu terletak pada proses menghilangkan sifat-sifatnya (warna, rasa, dan bau).

Istinja’ merupakan salah satu alternatif cara untuk menyelesaikan najis yang salah satunya menggunakan alat benda-benda padat. 

Hadats merupakan najis yang terdapat pada beberapa anggota tubuh manusia yang dapat menghalangi sahnya shalat.

Dari ketiga kategori tersebut dibagi lagi menjadi dua, yaitu:

a. Hadats kecil

b. Hadats besar

Hadats kecil di sebabkan oleh sesuatu yang keluar dari dalam tubuh manusia, seperti air kencing, berak, madzi, dan wadzi. Hadats besar di sebabkan oleh keluarnya sperma karena mimpi maupun persetubuhan, persetubuhan meskipun tidak sampai keluar sperma, haidh, dan nifas. Penyucian hadats kecil dilakukan melalui berwudhu dan tayamum. Penyucian hadats besar dilakukan melalui mandi besar dan tayamum.

BAB III SHALAT FARDHU LIMA WAKTU

Shalat fardlu merupakan merupakan semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Shalat yang difardlukan sebanyak lima waktu sehari-semalam dengan nama-nama shalatnya, yaitu:

 a. Subuh

b. Dluhur.

c. Ashar.

d. Maghrib,

e. Isya’

 Syarat wajib shalat fardlu adalah seperangkat ketentuan yang berakibat pada munculnya kewajiban melaksanakan shalat. Syarat sah shalat adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebelum shalat dilaksanakan.

Tata cara pelaksanaan shalat mengandung pelaksanaan tiga aspek ketentuan, yaitu:

a. Rukun shalat

b. Sunnah ab’adl.

c. Sunnah hai’ah.

Rukun shalat adalah seluruh ketentuan yang harus dipenuhi selama pelaksanaan shalat berlangsung. Sunnah ab’adl merupakan ketentuan-ketentuan yang sangat dianjurkan untuk dipenuhi selama pelaksanaan shalat. Sunnah hai’ah merupakan ketentuan-ketentuan yang dianjurkan untuk dipenuhi selama shalat berlangsung. Perkara yang membatalkan shalat adalah seperangkat ketentuan yang jika dilanggar dapat berakibat tidak sah atau tidak diterima shalatnya seseorang.

BAB IV SHALAT BERJAMA’AH

Dalam ketentuan fikih, dikenal dua bentuk pelaksanaan shalat yang kita kenal yaitu alshalatul munfaridah dan istilah yang kedua yaitu Al-shalatul jama’ah. Al-shalatul jama’ah merupakan pelaksanaan shalat yang melibatkan dua orang atau lebih sebagai satu kesatuan yang didalamnya ada peran sebagai imam dan makmum.:

Imam dan makmum dituntut memiliki syarat-syarat yang menjadikan shalat berjama’ah menjadi sah hukumnya.

Syarat-syarat sahnya imam meliputi:

 a. Islam

b. Berakal

c. Mumayyiz

d. Laki-laki, jika makmumnya laki-laki dan perempuan.

e. Suci dari hadats.

f. Memiliki bacaan yang bagus.

g. Tidak sedang berposisi sebagai makmum.

 Syarat-syarat sahnya imam meliputi:

 a. Berniat menjadi makmum

b. Islam

c. Berakal

d. Mumayyiz

e. Satu madzhab dengan imam yang sama.

f. Meyakini imam tidak sedang mengqadha’ shalat

g. Tidak lebih maju posisinya dari imam.

h. Dapat mendengar dan melihat bacaan dan gerakan imam.

i. Mengikuti gerakan imam dari awal hingga akhir shalat.

 Posisi makmum dengan imam berbeda-beda tergantig jenis kelamin dan jumlah makmum yang mengikuti shalat berjama’ah. Makmum masbuq memiliki ketentuan berbeda berdasarkan bacaan dan gerakan dalam rekaat shalat yang dilaluinya bersama imam. Pergantian dapat dilakukan berdasarkan penunjukan atau kesukarelaan dari makmum. Laki-laki membaca tasbih dan perempuan bertepuk satu tangan untuk mengingatkan imam yang lupa bacaan atau gerakan shalat.

BAB V BERDZIKIR DAN BERDOA SETELAH SHALAT

Berdzikir berakar dari kata al-dzikru yang bermakna dasar mengingat dan berdoa berakar dari kata al-du’a yang bermakna dasar mengajak, memanggil, meminta tolong atau memohon sesuatu. Berdzikir dilaksanakan karena adanya berbagai perbuatan nyata yang menjadi sebab terjadinya peristiwa berdzikir, dan berdoa disebabkan adanya kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan. Berdzikir dan berdoa termasuk salah satu perintah Allah Swt. kepada setiap manusia. Jika kita melupakan berdzikir dan berdoa kepada-Nya maka hakekatnya kita telah mati di sisi- Nya. 

Hadits terakhir yang diriwayatkan Tirmidzi menunjukkan berdzikir dan berdoa setelah shalat fardlu lima waktu lebih utama dibanding waktu-waktu lainnya. Bacaan-bacaan dzikir dan doa yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi Saw sangat banyak, sehingga para ulama berupaya menghimpun bacaan-bacaan yang memudahkan bagi umat Islam.

Cara mensikapi banyaknya himpunan bacaan dengan memilih salah satu diantara himpunan dzikir dan doa dari para ulama.

BAB VI SHALAT JUM’AT

Shalat Jum’at ( الصلاةالجمعة ) merupakan shalat wajib dua rekaat yang dilakukan setelah tergelincirnya mata hari atau waktu shalat Dhuhur bagi laki-laki yang telah memasuki usia baligh. Shalat Jum’at bukan sebagai pengganti shalat Dhuhur, tetapi shalat yang berdiri sendiri dan diatur dengan ketentuan yang berbeda antara keduanya.

Syarat wajib shalat Jum’at ada 7 yaitu:

 a. Islam

b. Merdeka

c. Memasuki usia baligh

d. Berakal

e. Laki-laki

f. Sehat 

g. Menetap

 Pendapat lain, tentang syarat wajib shalat jum’at ada 4 mencakup:

a. Pemukiman

b. Berjama’ah dengan empat puluh orang jama’ah

c. Dilaksanakan pada wkatu dhuhur

d. Tidak terdapat dua shalat dalam waktu bersamaan

BAB VII SHALAT FARDHU JAMA’ DAN QASAR

Shalat jama’ memiliki arti menggabungkan pelaksanaan dua shalat fardlu dalam satu waktu diantara salah satu dari dua shalat tersebut. Jika pelaksanaan dua shalat dilaksanakan pada waktu shalat yang pertama maka disebut dengan jama’ taqdim, dan pelaksanaan di waktu shalat yang kedua dinamakan jama’ ta’khir. Sebab diperbolehkannya menjama’ shalat adalah bepergian dengan jarak tempuh sekitar 120 kilo meter menurut mayoritas ulama. Hujan deras dan cuaca dingin ekstrim juga menjadi sebab diperbolehkannya menjama’ shalat, tetapi hanya jama’ taqdim dan tidak boleh jama’ ta’khir.

Qashar shalat bermakna meringkas jumlah rekaat menjadi dua rekaat untuk shalatshalat fardlu yang memiliki empat jumlah rekaatnya, seperti shalat dhuhur, ashar, dan shalat isya’. Diperbolehkan menjama’ dan mengqashar shalat dalam pelaksanaan dua shalat pada satu waktu diantara dua waktu shalat. Hukum boleh harus lebih dulu memadukan kriteria yang memperbolehkan shalat jama’ dan qashar.

BAB VII SHALAT FARDLU DALAM KONDISI TERTENTU

Shalat fardlu dalam kondisi tertentu merupakan pelaksanaan shalat dalam situasi yang tidak wajar, sehingga membolehkan penggunaan cara-cara yang lebih luwes dan longgar.

Munculnya kekhawatiran dan ketakutan datangnya musuh menjadi sebab diperbolehkannya shalat fardlu dengan cara yang berbeda dari biasanya yang disebut dengan shalat khauf.

Dengan pertimbangan kesamaan kriteria dengan kondisi yang ada dalam shalat khauf, maka shalat fardlu di tengah-tengah ancaman bencana alam dan serangan bersenjata dari pelaku kejahatan dapat dilaksanakan sama dengan tata cara shalat khauf. Tata cara pelaksanaan shalat khauf dibagi menjadi dua, shalat ditengah ancaman dari arah kiblat dan selain arah kiblat.

Termasuk dalam kondisi tertentu adalah shalat fardlu bagi orang yang sakit parah dengan cara duduk bersimpuh, terlentang, dengan syarat atau membaca dalam hati. Berada di atas kendaraan juga merupakan kondisi tertentu yang memperbolehkan shalat dengan tata cara yang lebih luwes dan longgar dengan menghadap arah laju kendaraan dan duduk di atas kursi.

BAB X SHALAT SUNNAH MUAKKAD DAN GHAIRU MUAKKAD

Shalat sunnah terbagi menjadi dua, yaitu: shalat sunnah mu’akkad dan ghairu mu’akkad. Shalat sunnah mu’akkad merupakan shalat yang selalu dijalankan atau dilestarikan oleh Nabi Muhamamd Saw dan tidak ditinggalkan, kecuali sekali atau dua kali untuk memberi petunjuk bahwa ibadah tersebut tidak wajib hukumnya.

Termasuk shalat sunnah mu’akkad adalah:

 a. Shalat sunnah rawatib

b. Shalat tahajjud

c. Shalat witir

d. Shalat dua hari raya

e. Shalat tahiyyat masjis.

 Shalat sunnah ghairu mu’akkad adalah sholat yang Nabi Saw tidak selalu melakukan setiap saat, terkadang beliau melaksanakannya, tetapi juga meninggalkannya dalam waktu yang berbeda.

Diantara yang menjadi bagian dari shalat sunnah mu’akkad adalah:

 a. Shalat dhuha

b. Shalat gerhana mata hari

c. Shalat gerhana bulan

d. Shalat meminta hujan.

 


Komentar

Postingan Populer